Selasa, 12 November 2013

Bahasa Indonesia 2 - Tulisan 10

TULISAN 10

Pekerja Sebagai Kaum Marginal


SUPLEMEN
Marjin, hasil penyerapan kata margin [Inggris]; artinya batas atau pinggir atau tepimarjinal berarti berhubungan dengan batas atau tepi;. Marjinal menunjukkan karakteristik yang berhubungan dengan batas suatu tepi atau pinggir dari pusat; misalnya, dalam dimensi budaya ataupun geografis. Marjinal berarti wilayah pinggiran atau daerah tepian. Marjinalitas mempunyai arti yang menunjuk pada suatu kondisi atau situasi dari seseorang atau kelompok atau sesuatu yang berada pada posisi marjinal atau berada pada wilayah pinggiran dari komunitas atau struktur atau sistem yang di dalamnya seseorang atau kelompok atau sesuatu itu ada atau hidup. Marjinalitas untuk menjelaskan bahwa seseorang atau kelompok atau sesuatu memiliki keadaan marjinal.

Marjinalisasi berarti desakan atau pembatasan terhadap seseorang atau kelompok atau sesuatu dalam berbagai aspek yang mengakibatkan obyek desakan atau pembatasan ini tersingkir hingga berada pada batas atau tepi atau pinggiran. Marjinalisasi menghasilkan orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu mereka yang terpasung dalam ketidakpastian psikologis di antara dua (atau lebih) komunitas masyarakat/ sosial; sehingga mereka penuh dengan ketidakmampuan mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi) daya jangkaunya.Marjinalisasi tidak ada dengan sendirinya, tetapi terbentuk dengan dan melalui perencanaan yang terstruktur serta rapi; dilakukan oleh mereka yang berkuasa (dan mempunyai kekuasaan) yang berkolaborasi dengan ‘kelompok-kelompok ideologi - sara yang bisa digunakan sebagai alat penindas-penekan-paksaan.’ Kolaborasi tersebut bisa konkrit dan terang-terangan, maupun tak terlihat namun ada. Ikatan yang menyatukan kolaborasi itu adalah kepentingan dan keuntungan bersama. Sehingga alat atau perangkat yang dipakai untuk melakukan marjinalisasi adalah politik, perencanaan pembangunan dan ekonomi, institusi pendidikan,  organisasi massa, kelompok-kelompok etnis, dan lain sebagainya, termasuk agama serta umat beragama.

Jadi, jika disebut bahwa para pekerja (bahasa yang lebih pop adalah buruh), sebagai kaum marginal; maka dari mana atau bagaimana mereka terbentuk!? Gampangnya, bisa dikatakan bahwa mereka tercipta karena korban ketidakadilan para pengusaha. Kemajuan sebagian masyarakat global (ermasuk Indonesia) yang mencapai era teknologi dan industri ternyata tidak bisa menjadi gerbong penarik untuk menarik sesamanya agar mencapai kesetaraan. Para pengusaha teknologi dan industri tetap membutuhkan kaum miskin yang pendidikannya terbatas untuk dipekerjakan sebagai buruh. Dan dengan itu, karena alasan kurang pendidikan, mereka dibayar di bawah standar atau sangat rendah, serta umumnya, tanpa tunjangan kesehatan, transportasi, uang makan, dan lain sebagianya.

Para buruh tersebut harus menerima keadaan itu karena membutuhkan nasi dan pakaian untuk bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka tidak mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Secara langsung, mereka telah menjadi korban ketidakadilan para pengusaha (konglomerat) hitam yang sekaligus sebagai penindas sesama manusia dan pencipta langgengnya kemiskinan. Para buruh (laki-laki dan perempuan) harus menderita karena bekerja selama 12 jam per hari (bahkan lebih), walau upahnya tak memadai. Kondisi buruk yang dialami oleh para buruh tersebut juga membuat dirinya semakin terpuruk di tengah lingkungan sosial kemajuan di sekitarnya (terutama para buruh migran pada wilayah metropolitan). Sistem kerja yang hanya mengutamakan keuntungan majikan, telah memaksa para buruh untuk bekerja demikian keras.

Sehingga kehidupan yang standar, wajar dan normal, yang seharusnya dialami oleh para buruh, tidak lagi dinikmati oleh mereka. Fisik dan mental para buruh (yang giat bekerja tetapi tetap miskin), telah dipaksa menjadi bagian dari instrumen mekanis. Mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan irama, kecepatan dan ritme mesin-mesin pabrik dan ritme bising mesin otomotif; mesin-mesin itu, memberikan perubahan dan keuntungan pada pemiliknya, namun sang buruh tetap berada pada kondisi kemiskinan. Dengan tuntutan itu, mereka tak memiliki kebebasan, kecuali hanya untuk melakukan aktivitas pokok makhluk hidup (makan, minum, tidur) di sekitar mesin-mesin yang menjadi tanggungjawabnya.

Dengan demikian, jika ada tuntutan buruh untuk kenaikan upah, maka wajar-wajar saja; tetapi, ada tetapinya. Tuntutan itu, menjadi tak wajar jika, menuntut tampa memandang-menilai sikon ekonomi yang sementara terajadi, di samping begitu banyak faktor lainnya yang berhubungan dengan kerja, produksi, penjualan, pajak, dan lain sebagainya.  Saya setuju, bahwa pekerja/ buruh harus keluar dari sikon marginal yang menghimpitnya; mereka harus terangkat secara ekonomi, sosial, lain sebagainya; mereka harus mengalami perbaikan dan perubahan kualitas hidup serta kehidupannya. Tapi, hal tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat, terhormat, serta penuh kecerdasan; dan bukan melalui cara-acara anarkhis, paksaan, kekerasan, serta ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu.

Hasil analisa :

Di dalam tulisan ini membahas mengenai pekerja sebagai kaum marginal di dalam ruang lingkup pekerjaan. Marjinal menunjukkan karakteristik yang berhubungan dengan batas suatu tepi atau pinggir dari pusat; misalnya, dalam dimensi budaya ataupun geografis. Marjinal berarti wilayah pinggiran atau daerah tepian. Marjinalitas mempunyai arti yang menunjuk pada suatu kondisi atau situasi dari seseorang atau kelompok atau sesuatu yang berada pada posisi marjinal atau berada pada wilayah pinggiran dari komunitas atau struktur atau sistem yang di dalamnya seseorang atau kelompok atau sesuatu itu ada atau hidup. Marjinalitas untuk menjelaskan bahwa seseorang atau kelompok atau sesuatu memiliki keadaan marjinal. Marjinalisasi berarti desakan atau pembatasan terhadap seseorang atau kelompok atau sesuatu dalam berbagai aspek yang mengakibatkan obyek desakan atau pembatasan ini tersingkir hingga berada pada batas atau tepi atau pinggiran. Marjinalisasi menghasilkan orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu mereka yang terpasung dalam ketidakpastian psikologis di antara dua (atau lebih) komunitas masyarakat/ sosial; sehingga mereka penuh dengan ketidakmampuan mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi) daya jangkaunya. Dilihat dari jenis paragraf, tulisan ini berjenis paragraf deskriptif karena penulis member gambaran tentang kondisi kaum pekerja yang hidup dalam fenomena marjinalitas sehingga berdampak pada pola kehidupan yang dialami oleh para buruh sehingga dikatakan bahwa “pekerja sebagai kaum marginal”. Jika dilihat di paragraf awal, bentuk paragraf tersebut adalah paragraf campuran karena kalimat utama terletak pada awal paragraf dan akhir paragraf yang menunjukan kesimpulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar