Sabtu, 09 November 2013

Bahasa Indonesia 2 - Tulisan 1



Demam “Nongkrong” ala Sevel melahirkan industry sejenis


Demam “Nongkrong” ala Sevel melahirkan industry sejenis
Demam nongkrong ala Sevel sedang menjangkiti store-store sejenis. Budaya nongkrong yang dibawa oleh Sevel rupanya melahirkan “gaya hidup” nongkrong bagi industry retail sejenis. Dengan konsep yang kurang lebih sama, indomart dan lawson sedikit mengubah tampilannya menjadi convenient store. Pada akhirnya nongkrong ala Sevel yang sedang menjamur di Jabodetabek, membuka peluang bagi lahirnya industry sejenis. Mari kita amati saja, retail Indomart dan Lawson yang ada sekarang ini. Sevel sampai tahap ini berhasil menggulirkan budaya tersebut. Tak terkecuali di Jogja, Indomaret membuka gerai dengan konsep mirip Sevel.

Pada dasarnya, keberhasilan sebuah industry adalah mampu menggulirkan budaya yang mengubah perilaku social pelanggannya. Pelanggan yang notabene seorang manusia yang berbudaya dengan mudah menangkap hal ini sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Manusia, sejenak membutuhkan suasana baru, pandangan baru, rasa baru serta cita rasa baru. Salah satunya ya meluangkan waktu dengan duduk santai sembari beraktifitas lain. Gambaran psikologis manusia inilah yang ditangkap sebagai cara dalam memenuhi kebutuhan dari sisi lain. Pertanyaan reflektifnya adalah dengan nongkrong apakah ada hal positif yang diperoleh? Ibarat manusia membutuhkan “pitstop”, “nongkrong” menjadi cara untuk berhenti sejenak, maka kegiatan ini bisa  dilakukan. Kadang, dengan nongkrong dan ngobrol, justru melahirkan ide, kreatifitas baru yang berguna bagi pekerjaan kita. Nongkrong kadang juga menjadi salah satu cara menyelesaikan tugas dan pekerjaan kita. Namun kita hendaknya tetap harus waspada, nongkrong jangan menjadi alasan untuk bermalas-malasan, tanpa ada sesuatu yang bisa di bawa pulang.

Apapun itu, secara khusus di Jakarta, convenience store  berhasil membangun paradigama baru. Bahwa nongkrong sadar atau tidak sudah menjadi bagian dari “lifestyle”. Kita bisa melihat dan dilihat. Kita bisa berjam-jam mengamati perilaku orang lain. Kita bisa duduk tanpa berbuat sesuatu juga memungkinkan dilakukan. Nah bagaimana dengan industry retail sejenis? Dalam hal ini Indomart dan Lawson. Mengamati ini, Indomart dan Lawson adalah follower. Mengingat konsep sejenis sudah ada terlebih dulu. Menariknya adalah, pelanggan tidak terlalu mempermasalahkan mau dimana nongkrongnya. Terbukti baik di Indomart maupun Lawson tetap ramai orang nongkrong. Pelanggan tidak merasa di Sevel lebih baik daripada di Indomart atau Lawson. Pelanggan juga tidak merasa lebih ber”gaya hidup” atau prestise nongkrong di Sevel dari pada di Indomart  atau Lawson. Yang terpenting buat pelanggan adalah bagaimana kebutuhan sisi lain ini terpenuhi dengan “nongkrong”.

Saat ini gerai Indomart dengan konsep convenience store masih terbatas.  Hanya tempat tertentu yang ramai aktifitas seperti stasiun kereta. Nah di Jogja, dengan banyaknya tempat nongkrong ala desa/kampung serta kulinernya, Indomart hadir dengan konsep ala Sevel. Rupanya Indomart akan mengambil bagian merebut hati masyarakat Jogja dengan membangun budaya “nongkrong”yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Walaupun dengan konsep yang berbeda. Umumnya kata “nongkrong” di Jogja sudah jamak. Tidak lagi asing. Nongkrong sudah menjadi bagian dari ritme hidup, terutama para mahasiswanya. Lihat saja begitu banyak tempat nongkrong di Jogja, dari konsep “angkringan’ sampai model “western” juga ada. Dari outdor sampai indoor juga banyak di temukan. Dari yang hanya sekedar duduk di pinggir trotoar sampai ber AC (angin cendela) maupun AC beneran juga ada.
Kembali pada konsep “nongkrong”, pada prinsipnya setiap orang butuh sosialisasi. Seseorang membutuhkan waktu untuk berinteraksi membangun komunitas. Selain berusaha ingin mendapatkan sebuah pengakuan diri dari lingkungan tentunya. Lepas dari itu semua, nongkrong memang aktifitas yang menyenangkan. Bertatap muka sembari bersosialisasi membuat kita semakin open minded. Hmmm… siapa takut untuk nongkrong…


Hasil analisa :
Tulisan diatas membahas mengenai gaya hidup anak muda jaman sekarang dengan hadirnya convenient store yang ada sekarang. Budaya nongkrong yang dibawa oleh Sevel rupanya melahirkan “gaya hidup” nongkrong bagi industry retail sejenis. Dengan konsep yang kurang lebih sama, indomart dan lawson sedikit mengubah tampilannya menjadi convenient store. Pada akhirnya nongkrong ala Sevel yang sedang menjamur di Jabodetabek, membuka peluang bagi lahirnya industry sejenis. Apapun itu, secara khusus di Jakarta, convenience store  berhasil membangun paradigama baru. Bahwa nongkrong sadar atau tidak sudah menjadi bagian dari “lifestyle”. Kita bisa melihat dan dilihat. Kita bisa berjam-jam mengamati perilaku orang lain. Kita bisa duduk tanpa berbuat sesuatu juga memungkinkan dilakukan. Nah bagaimana dengan industry retail sejenis? Dalam hal ini Indomart dan Lawson. Mengamati ini, Indomart dan Lawson adalah follower. Mengingat konsep sejenis sudah ada terlebih dulu.
Dilihat dari bentuk paragrafnya tulisan ini bersifat naratif karena penulis berusaha menceritakan fenomena Demam “Nongkrong” ala Sevel melahirkan industry sejenis dengan berbagai ruang  lingkup kehidupan anak muda yang ikut berkembang dengan adanya convenient store seperti sevel dan Lawson. Jika dilihat dari kalimatnya, paragraf ini bersifat deduktif karena kalimat utama yang menjadi inti  berada di awal paragraf. Struktur kata yang disajikan sangat dinamis dan mudah dipahami oleh para pembaca sehingga kita menjadi lebih mengerti dan jelas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar