Kamis, 25 April 2013

Aspek Hukum dalam Ekonomi - Hukum Perdata


HUKUM PERDATA
AGUS MAULANA
20211372 / 2EB04

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial artinya manusia tidak dapat hidup sendiri. Dengan kata lain manusia hidup memerlukan bantuan orang lain. Adapun manusia selalu memerlukan bantuan orang lain atau selalu hidup bermasyarakat adalah untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, untuk membela diri dan untuk memperoleh keturunan. Singkatnya, manusia memerlukan orang lain untuk mempertahankan kehidupannya. Tidaklah mungkin ada orang yang dapat hidup sendirian tanpa interaksi dengan orang lain. Dalam berinteraksi dengan orang lain pasti terdapat konflik kepentingan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Karena tiap orang mempunyai keinginan, keperluan dan kebutuhan sendiri-sendiri. Sehingga akan terjadilah perselisihan dalam kehidupan bersama apabila terdapat konflik kepentingan. Golongan yang kuat mengalahkan dan menindas golongan yang lemah. Oleh karena itulah, agar adanya suatu kedamaian atau untuk mencegah perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah yang disebut hukum.
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Selain kita memahami pengertian hukum maka kita harus mengetahui tentang ruang lingkup hukum seperti, unsur-unsur hukum, ciri-ciri hukum, subjek dan objek hukum.
Di dalam kehidupan seringkali kita menemui masalah yang timbul akibat konflik antar sesama manusia ataupun golongan. Didalam paper ini saya membahas mengenai hukum perdata beserta contoh yaitu mengenai Acara Hukum Perdata contoh kasusnya perceraian. Hukum Perdata adalah Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Hukum Perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pengertian Hukum, unsur-unsur, ciri-ciri, subjek dan objek Hukum?
2.      Apa yang dimaksud dengan Hukum Perdata dan Acara Hukum Perdata yang ada di Indonesia?
3.      Sebutkan salah satu contoh dari Acara Hukum Perdata yang ada di Indonesia?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian, unsur-unsur, ciri-ciri, subjek dan objek Hukum
2.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
3.      Untuk mengetahui contoh acara hukum perdata yang ada di Indonesia

KERANGKA PEMIKIRAN
A.    Landasan Teori
1.      Pengertian Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."

Para Ahli Hukum memiliki berbagai pengertian mengenai hukum yaitu :

a.       Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
b.      Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.

c.       Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
d.      Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
e.       Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.

1.1  Unsur-unsur Hukum
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan oleh para Ahli Hukum, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu :
a.       Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b.      Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c.       Peraturan itu besifat memaksa
d.      Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas


1.2  Ciri-ciri Hukum
Untuk dapat mengenal hukum itu kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum yaitu :
a.       Adanya perintah atau larangan
b.      Perintah atau larangan itu harus ditaati oleh semua orang
Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan dengan orang yang satu dengan orang yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan kaidah hukum.

1.3  Subjek dan Objek Hukum
Subjek hukum ialah suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak/ kewajiban/ kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu. Subjek hukum merupakan segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum atau segala pendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Setiap manusia, baik warga negara maupun orang asing adalah subjek hukum. Jadi dapat dikatakan, bahwa setiap manusia adalah subjek hukum sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Sebagai subjek hukum, manusia mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu. Mereka digolongkan sebagai orang yang “tidak cakap” atau “kurang cakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1330, mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah :
a.       Orang yang belum dewasa.
b.      Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), seperti orang yang dungu, sakit ingatan, dan orang boros.
c.       Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).
Selain manusia sebagai subjek hukum, di dalam hukum terdapat pula badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti layaknya seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka hakim. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a.       Badan hukum publik, seperti negara, propinsi, dan kabupaten.
b.      Badan hukum perdata, seperti perseroan terbatas (PT), yayasan, dan koperasi.
Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi objek suatu hubungan hukum karena hal itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Dalam bahasa hukum, objek hukum dapatjuga disebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/atau dimiliki subyek hukum. Misalnya, Andi meminjamkan buku kepada Budi. Di sini, yang menjadi objek hukum dalam hubungan hukum antara Andi dan Budi adalah buku. Buku menjadi objek hukum dari hak yang dimiliki Andi. Objek hukum dapat berupa benda, baik benda yang bergerak, (misalnya mobil dan hewan) maupun benda tidak bergerak (misalnya tanah dan bangunan). Di samping itu, objek hukum dapat berupa benda berwujud (misalnya tanah, bangunan, dan mobil) maupun benda tidak berwujud (misalnya hak cipta, hak merek, dan hak paten).

2.      Hukum Perdata
2.1  Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813). Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
a.       BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
b.      WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

2.2  Pengertian Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan  atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini. Hukum Perdata merupakan ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Berikut beberapa pengartian dari Hukum Perdata :
a.       Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan
b.      Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya.
c.       Hukum Perdata adalah ketentuan dan peraturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.

2.3  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon kemudian bedasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer. BW/KUHPer sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia(azas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia.

Buku Kesatu-Orang
Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris.
a.       Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
b.      Bab II - Tentang akta-akta catatan sipil
c.       Bab III - Tentang tempat tinggal atau domisili
d.      Bab IV - Tentang perkawinan
e.       Bab V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri
f.       Bab VI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
g.      Bab VII - Tentang perjanjian kawin
h.      Bab VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
i.        Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda
j.        Bab X - Tentang pembubaran perkawinan
k.      Bab XI - Tentang pisah meja dan ranjang
l.        Bab XII - Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
m.    Bab XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
n.      Bab XIV - Tentang kekuasaan orang tua
o.      Bab XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
p.      Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
q.      Bab XVI - Tentang pendewasaan
r.        Bab XVII - Tentang pengampuan
s.       Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran

Buku Kedua-Benda atau Barang
Buku kedua mengatur mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan. Benda dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki (dimiliki) oleh seseorang. Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan kepada pihak ketiga. Buku kedua tentang benda pada saat ini telah banyak berkurang, yaitu dengan telah diaturnya secara terpisah hal-hal yang berkaitan dengan benda (misal dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Undang-undang N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan . Dalam hal telah diatur secara terpisah oleh suatu peraturan perundang-undangan maka dianggap pengaturan mengenai benda didalam BW dianggap tidak berlaku.
a.       Bab I - Tentang barang dan pembagiannya
b.      Bab II - Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya
c.       Bab III - Tentang hak milik
d.      Bab IV - Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga
e.       Bab V - Tentang kerja rodi
f.       Bab VI - Tentang pengabdian pekarangan
g.      Bab VII - Tentang hak numpang karang
h.      Bab VIII - Tentang hak guna usaha (erfpacht)
i.        Bab IX - Tentang bunga tanah dan sepersepuluhan
j.        Bab X - Tentang hak pakai hasil
k.      Bab XI - Tentang hak pakai dan hak mendiami
l.        Bab XII - Tentang pewarisan karena kematian
m.    Bab XIII - Tentang surat wasiat
n.      Bab XIV - Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan
o.      Bab XV - Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan
p.      Bab XVI - Tentang hal menerima dan menolak warisan
q.      Bab XVII - Tentang pemisahan harta peninggalan
r.        Bab XVIII - Tentang harta peninggalan yang tak terurus
s.       Bab XIX - Tentang piutang dengan hak didahulukan
t.        Bab XX - Tentang gadai
u.      Bab XXI - Tentang hipotek


Buku Ketiga-Perikatan
Buku mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan” disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan. Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht), atau sering juga disebut sifat terbuka, sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).
a.       Bab I - Tentang perikatan pada umumnya
b.      Bab II - Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
c.       Bab III - Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang
d.      Bab IV - Tentang hapusnya perikatan
e.       Bab V - Tentang jual-beli
f.       Bab VI - Tentang tukar-menukar
g.      Bab VII - Tentang sewa-menyewa
h.      Bab VIIA - Tentang perjanjian kerja
i.        Bab VIII - Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata)
j.        Bab IX - Tentang badan hukum
k.      Bab X - Tentang penghibahan
l.        Bab XI - Tentang penitipan barang
m.    Bab XII - Tentang pinjam-pakai
n.      Bab XIII - Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)
o.      Bab XIV - Tentang bunga tetap atau bunga abadi
p.      Bab XV - Tentang persetujuan untung-untungan
q.      Bab XVI - Tentang pemberian kuasa
r.        Bab XVII - Tentang penanggung
s.       Bab XVIII - Tentang perdamaian

Buku Keempat-Pembuktian dan Kadaluwarsa
Buku keempat mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa. Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (Herzine Indonesisch Reglement / HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :
a.       Surat-surat
b.      Kesaksian
c.       Persangkaan
d.      Pengakuan
e.       Sumpah
Daluwarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
a.       Bab I - Tentang pembuktian pada umumnya
b.      Bab II - Tentang pembuktian dengan tulisan
c.       Bab III - Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
d.      Bab IV - Tentang persangkaan
e.       Bab V - Tentang pengakuan
f.       Bab VI - Tentang sumpah di hadapan hakim
g.      Bab VII - Tentang kedaluwarsa pada umumnya

B.     Pembahasan
Contoh Kasus Acara Hukum Perdata di Indonesia

Kasus Perceraian

Seorang istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama (PA) dengan data sebagai berikut :

Nama            : Rani Anggraeni
Umur            : 32 tahun
Agama          : Islam
Pekerjaan      : Pegawai Swasta
Status             : Menikah
Anak               : 1 anak laki-laki, umur 4 tahun

Permasalahan atau Kronologis
Rani Anggraeni  menikah di Jakarta dengan suaminya 6 tahun yang lalu (th 2005). Dikaruniai 1 orang putra berumur 4 tahun. Sudah lama sebenarnya Rani mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Suaminya adalah mantan anak orang kaya yang tidak jelas kerjanya apa dan sering berprilaku sangat kasar pada Rani, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Rani sering tidak tahan sampai berpikir untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedemikian parahnya dimana si suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Rani merasa terancam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2011, Rani dipukul / ditonjok matanya sampai biru yang berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga. Setelah kejadian itu Rani memutuskan untuk bercerai saja. Proses Perceraian dilakukan sesuai Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tahap-tahap :
Menentukan Pengadilan Mana yang Berwenang,
Rani harus menentukan Pengadilan Agama mana yang harus di daftarkan olehnya. Karena bila salah mendaftarkan gugatan cerai di Pengadilan yang tidak berwenang maka gugatannya tersebut dapat ditolak oleh hakim. Dalam Undang-undang diatur Bila yang mengajukan gugatan cerai si istri (beragama Islam) maka Pengadilan Agama yang berwenangnya adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal terakhir si istri. Bila yang mengajukan gugatan cerai si suami (beragama Islam) maka Pengadilan Agama adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal si istri.
Catatan : Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah (baik yang mengajukan cerai istri maupun suami). Bila Rani tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila Rani dan suami tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat anda berdua menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama).
Di Jakarta ada 5 Pengadilan Agama (PA), untuk menentukan secara tepat PA mana yang berwenang memproses perkara cerai antara lain :
a.       Pengadilan Agama Jakarta Pusat ; Jl. K.H. Mas Mansyur, Gg. H. Awaludin II/2, Tanah Abang, Jak-Pus.
b.      Pengadilan Agama Jakarta Selatan ; Jl. Harsono RM No. 1, Ragunan, Pasar Minggu, Jak-Sel (Samping Gedung Pertanian arah Kebun Binatang).
c.       Pengadilan Agama Jakarta Timur ; Jl. Raya PKP, No. 24, Kelapa Dua Wetan, Ciracas,Jak-Tim.
d.      Pengadilan Agama Jakarta Utara ; Jl. Plumpang Semper, No. 3, Tanjung Priok, Jak-Ut
e.       Pengadilan Agama Jakarta Barat ; Jl. Flamboyan II, No. 2, Cengkareng, Kalideres, Jak-Bar.

Maka Rani harus mengetahui persis alamat tempat tinggalnya yang saat ini ia tinggali, yakni alamat tepatnya di bilangan Tanah Abang ( Jakarta Pusat ). Jadi pengadilan yang tepat mengadili perkara cerai Rani adalah PA Jakarta Pusat. Rani mencari alamat PA Jakarta Pusat, yaitu di Jl. K.H. Mas Mansyur, Gg. H. Awaludin II/2, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Surat-surat yang Harus disiapkan oleh Rani :
a.       Surat Nikah asli
b.      Foto kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai, kemudian dilegalisir
c.       Foto kopi Akte Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai, juga dilegalisir
d.      Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri)
e.       Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
Saran untuk persiapan proses cerai :
a.       Menentukan dengan benar pengadilan manakah yang berwenang mengadili perkara   cerainya
b.      Survey langsung ke pengadilan tersebut
c.       Mencari informasi di pengadilan berwenang tersebut utk mendapatkan informasi proses cerai sebanyak-banyaknya (seperti: apa syarat-syarat mengajukan gugatan cerai, bagaimana menyusun gugatan, berapa biaya daftar gugatan dll).
Perlukah jasa pengacara?
Dari hasil informasinya itu, Rani menentukan untuk tidak menggunakan jasa seorang pengacara, karena :
a.        Rani punya banyak waktu untuk menghadiri sidang perceraiannya
b.      Rani tidak punya banyak uang untuk menyewa seorang pengacara yang mungkin bisa  mengeruk biaya sekitar Rp 5jt – 10jt lebih.
c.        Umumnya penggunaan jasa pengacara digunakan pada orang yang waktunya sempit (sibuk bekerja) dan adanya hak dan kewajiban yang mungkin sulit dipertahankan dalam proses perceraiannya.

DAFTAR PUSTAKA