TULISAN 20
Pengusaha : Mending Lungo Seko Indonesia !
Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/11/09/pengusaha-mending-lungo-seko-indonesia--606619.html
“Mending
lungo seko Indonesia !” (inspirasi : dosen mata kuliah mikro ekonomi dan
ekonomi moneter)
Kalimat
yang tertulis diatas adalah ekspresi ‘ngambek’nya perusahaan-perusahaan di
Indonesia menyikapi amukan buruh yang menuntut upahnya naik, dimana peristiwa
ini memang merupakan resiko yang didapat dari pasar Tenaga kerja. Ekspresi tersebut dalam bahasa
indonesia berarti “mending pergi aja dari indonesia!” dan tentu saja kita
(rakyat Indonesia) akan bersama-sama berteriak “JANGAN!!!!!” kepada mereka.
Karena (kata teori), peran mereka sangat mendorong tingkat produk domestik
bruto (PDB) dan menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia bahkan di negara
manapun.
Kenapa
perusahaan bisa se-ngambek itu?
Tentu
saja dalam kondisi seseram ini, tanpa berfikir dua kali, mereka (perusahaan)
bisa saja hengkang dari Indonesia dan melakukan relokasi di negara tetangga,
kemungkinan negara Vietnam tujuannya. Bisa
jadi, peristiwa miris yang terjadi tahun 1998, dimana perusahaan-peruasahaan
macam Adidas (contoh) dengan gagah hengkang ke Vietnam, meninggalkan luka bagi
tenaga kerja Indonesia. Siapa yang nakal? Entahlah… Pilihan perusahaan untuk memilih Vietnam merupakan pilihan
yang sama sekali tidak salah, bahkan pilihan itu merupakan pilihan yang paling
tepat bagi mereka untuk mengembalikan kembali profit yang sempat anjlok
selama di Indonesia. Negara ini memiliki tingkat upah yang lebih rendah dari
Indonesia. Perlu diketahui, Indonesia adalah negara dengan tingkat upah
tertinggi di Asia. Pegawai Negari Sipil (PNS) saja masih berada pada titik upah
sebesar Rp. 1,200,000, buruh sudah minta Rp. 3,700,000 ? bisa-bisa, PNS yang
nasibnya masih (maaf) terlantar, akan ikutan beradu nasib menjadi buruh juga.
Miris.
Tidak
berbeda memang dengan pasar-pasar lainnya. Ada harga, ada tawar, ada penjual
dan ada pembeli. Harga murah, pembeli di untungkan. Harga mahal, penjual yang
diuntungkan Dalam hal ini yang dimaksud pembeli adalah perusahaan, sedangkan
penjual adalah serikat buruh yang memperjualbelikan jasanya. Keduanya saling
tarik menarik, satu ingin harga naik, satu lagi ingin harga turun. Begitu
seterusnya. Sulit ditebak. Serikat
pekerja menuntut harga naik karena upah adalah kehidupan mereka. Mereka akan
melakukan apapun asal, kehidupan mereka terjamin, misal dengan aksi mogok kerja
dengan andil-andil supaya perusahaan mengerti betapa berharganya mereka.
Ternyata memang benar adanya. Akibat aksi mogok tersebut, sebuah perusahaan
yang tidak bisa disebut namanya, hampir mengalami kerugian sebesar Rp. 4
Millyar per hari. Bayangkan bagaimana getar-getirnya perusahaan tersebut setiap
hari. Bahkan mungkin mereka pun tidak pernah tidur dengan nyenyak.
Satu
hal yang perlu dijaminkan oleh para buruh ketika perusahaan telah menaikkan
upah mereka adalah, produktivitas yang juga meningkat. Tanpa adanya
produktivitas yang berarti dari buruh, ini namanya pemerasan bagi perusahaan.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, perlu sekali memperhatikan
produktivitasnya. Perusahaan dalam hal ini akan memberikan upah yang rendah,
apabila diikuti juga dengan produktivitas mereka yang rendah (sebaliknya),
rendahnya pendapatan buruh, dapat dipastikan hanya cukup untuk konsumsi
sehingga menabung akan diabaikan. Padahal, tabungan adalah sumber utama
pembentukan modal masyarakat. Sehingga, bank akan terus meningkatkan suku bunga
untuk mengiming-imingi masyarakat agar menabung. Disisi lain, keadaan pasar
modal juga akan semakin genting, dimana harga-harga saham (IHSG) yang murah
akan membuat para pemodal asing menarik kembali modalnya, dan begitu
seterusnya. Dalam dunia ekonomi, hal ini dinamakan Lingkaran Setan. Lingkaran
setan itu harus diputus, supaya negara tersebut dapat bangkit. Satu-satunya
cara adalah dengan memperbaiki produktivitas sebagai sebab awal terjadinya
lingkaran setan ini.
Perusahaan
tentu saja enggan menaikkan upah dan menginginkan upah rendah meskipun dengan
iming-iming meningkatnya produktivitas yang biasanya hanya janji karena bagi
perusahaan, upah adalah biaya. Biaya yang menentukan berapa keuntungan yang
didapat setiap bulannya. Bagi buruh, kebijakan perusahaan yang menaikkan upah
mereka sebesar Rp. 100.000 dinilai sangat tidak manusiawi. Namun, bagi
perusahaan, biaya tersebut, apabila dikalikan dengan jumlah tenaga kerja yang
ia miliki (>25) akan dinilai sangat
berat apalagi jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas.
Akibatnya,
melihat pengeluaran perusahaan untuk upah tenaga kerja yang nilainya setinggi
itu, perusahaan kemudian akan membandingkan apabila pengeluaran tersebut
digunakan untuk membeli mesin-mesin. Disamping mesin tidak dapat protes ketika
digaji murah, mesin juga tentunya memiliki produktivitas yang lebih baik
dibandingkan tenaga manusia. Ini yang dikhawatirkan. Perusahaan akan mulai
memberhentikan buruh-buruh tersebut, dan menggantikannya dengan mesin. Hal ini
dinilai cukup rasional dan efisien bagi perusahaan. Namun, tidak untuk buruh.
Buruh akan kembali turun ke jalan-jalan menyuarakan rusaknya moral pengusaha
yang mem-PHK mereka di tengah-tengah inflasi yang tak terkendali yang
sebenarnya dibuat oleh mereka sendiri. Kenapa tidak? Mereka yang menginkan upah
naik, tanpa mereka ketahui, semakin tinggi masyarakat memegang uang, semakin
tinggi pula harga barang dan jasa (inflasi). Lama-kelamaan, mereka akan
meronta-ronta lagi meminta upah naik, lalu harga barang jasa kembali mengikuti
naiknya upah mereka. Begitu seterusnya entah sampai kapan. Dalam hal ini, pemerintahlah yang
harusnya berperan dalam menengahi permasalahan antara buruh dan
pengusaha. Bahkan seharusnya, pemerintahlah yang harus didemo oleh buruh, bukan
pengusaha. Dalam arti, buruh menagih kejelasan subsidi pendidikan, subsidi
pengobatan, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang mampu mengurangi pengeluaran
buruh. Hati-hati !
Hasil analisa :
Jika kita analisa berdasarkan jenis paragraf, maka
tulisan tersebut berjenis paragraf argumentatif, karena penulis mencoba untuk
mengungkapkan alasan dan berbagai indikator untuk menjawab permasalahan yang
berkembang di dalam tulisan tersebut. Jika kita analisa salah satu pargraf
yaitu “Perusahaan tentu saja enggan
menaikkan upah dan menginginkan upah rendah meskipun dengan iming-iming
meningkatnya produktivitas yang biasanya hanya janji karena bagi perusahaan,
upah adalah biaya. Biaya yang menentukan berapa keuntungan yang didapat setiap
bulannya. Bagi buruh, kebijakan perusahaan yang menaikkan upah mereka sebesar Rp.
100.000 dinilai sangat tidak manusiawi.
Namun, bagi perusahaan, biaya tersebut,
apabila dikalikan dengan jumlah tenaga kerja yang ia miliki (>25) akan dinilai sangat berat apalagi jika tidak
diimbangi dengan peningkatan produktivitas.” Maka paragraf tersebut berbentuk induktif karena
kalimat inti atau kalimat utama terletak di akhir paragraf.