HUKUM
PERDATA
AGUS
MAULANA
20211372
/ 2EB04
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk sosial artinya manusia tidak dapat hidup sendiri. Dengan kata
lain manusia hidup memerlukan bantuan orang lain. Adapun manusia selalu
memerlukan bantuan orang lain atau selalu hidup bermasyarakat adalah untuk
memenuhi kebutuhan makan dan minum, untuk membela diri dan untuk memperoleh
keturunan. Singkatnya, manusia memerlukan orang lain untuk mempertahankan
kehidupannya. Tidaklah mungkin ada orang yang dapat hidup sendirian tanpa
interaksi dengan orang lain. Dalam berinteraksi dengan orang lain pasti
terdapat konflik kepentingan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Karena
tiap orang mempunyai keinginan, keperluan dan kebutuhan sendiri-sendiri.
Sehingga akan terjadilah perselisihan dalam kehidupan bersama apabila terdapat
konflik kepentingan. Golongan yang kuat mengalahkan dan menindas golongan yang
lemah. Oleh karena itulah, agar adanya suatu kedamaian atau untuk mencegah
perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu peraturan-peraturan
atau kaedah-kaedah yang disebut hukum.
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari
bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam
berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial
antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum
pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam
konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di
mana mereka yang akan dipilih. Selain kita memahami pengertian hukum maka kita
harus mengetahui tentang ruang lingkup hukum seperti, unsur-unsur hukum,
ciri-ciri hukum, subjek dan objek hukum.
Di dalam kehidupan seringkali kita menemui masalah yang timbul
akibat konflik antar sesama manusia ataupun golongan. Didalam paper ini saya
membahas mengenai hukum perdata beserta contoh yaitu mengenai Acara Hukum
Perdata contoh kasusnya perceraian. Hukum Perdata adalah Salah satu
bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam
masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat
atau hukum sipil. Hukum Perdata merupakan rangkaian
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu
dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan pengertian Hukum, unsur-unsur, ciri-ciri, subjek dan objek
Hukum?
2. Apa
yang dimaksud dengan Hukum Perdata dan Acara Hukum Perdata yang ada di Indonesia?
3. Sebutkan
salah satu contoh dari Acara Hukum Perdata yang ada di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian, unsur-unsur, ciri-ciri, subjek dan objek Hukum
2. Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata
3. Untuk
mengetahui contoh acara hukum perdata yang ada di Indonesia
KERANGKA
PEMIKIRAN
A. Landasan
Teori
1. Pengertian
Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari
bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat
dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan
sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum
pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam
konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di
mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau
kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur
persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa
"Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan
peraturan tirani yang merajalela."
Para Ahli Hukum
memiliki berbagai pengertian mengenai hukum yaitu :
a. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem
peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
b. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang
tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu
yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah
undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum
orang-orang yang bersalah.
c. Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk
memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang
berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
d. Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur
tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
e. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang
dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak
bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.
1.1 Unsur-unsur
Hukum
Dari beberapa perumusan tentang hukum
yang diberikan oleh para Ahli Hukum, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu
meliputi beberapa unsur, yaitu :
a. Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b. Peraturan
itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan
itu besifat memaksa
d. Sanksi
terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas
1.2 Ciri-ciri
Hukum
Untuk dapat mengenal hukum itu kita
harus dapat mengenal ciri-ciri hukum yaitu :
a. Adanya
perintah atau larangan
b. Perintah
atau larangan itu harus ditaati oleh semua orang
Setiap
orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib
dalam masyarakat tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu hukum
meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan dengan
orang yang satu dengan orang yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan yang dinamakan kaidah hukum.
1.3 Subjek
dan Objek Hukum
Subjek hukum ialah
suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak/ kewajiban/ kekuasaan
tertentu atas sesuatu tertentu. Subjek hukum merupakan segala sesuatu yang
dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum atau segala pendukung hak dan
kewajiban menurut hukum. Setiap manusia, baik warga negara maupun orang asing
adalah subjek hukum. Jadi dapat dikatakan, bahwa setiap manusia adalah subjek
hukum sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Sebagai subjek hukum, manusia
mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang
tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi dalam hukum, tidak semua
orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya
itu. Mereka digolongkan sebagai orang yang “tidak cakap” atau “kurang cakap”
untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga
mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1330, mereka yang oleh hukum telah dinyatakan
tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah :
a. Orang
yang belum dewasa.
b. Orang
yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), seperti orang yang dungu, sakit
ingatan, dan orang boros.
c. Orang
perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).
Selain
manusia sebagai subjek hukum, di dalam hukum terdapat pula badan-badan atau
perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti layaknya seorang manusia. Badan-badan dan
perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam
lalu-lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga
menggugat di muka hakim. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu :
a. Badan
hukum publik, seperti negara, propinsi, dan kabupaten.
b. Badan
hukum perdata, seperti perseroan terbatas (PT), yayasan, dan koperasi.
Objek
hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat
menjadi objek suatu hubungan hukum karena hal itu dapat dikuasai oleh subjek
hukum. Dalam bahasa hukum, objek hukum dapatjuga disebut hak atau benda yang
dapat dikuasai dan/atau dimiliki subyek hukum. Misalnya, Andi meminjamkan buku
kepada Budi. Di sini, yang menjadi objek hukum dalam hubungan hukum antara Andi
dan Budi adalah buku. Buku menjadi objek hukum dari hak yang dimiliki Andi.
Objek hukum dapat berupa benda, baik benda yang bergerak, (misalnya mobil dan
hewan) maupun benda tidak bergerak (misalnya tanah dan bangunan). Di samping
itu, objek hukum dapat berupa benda berwujud (misalnya tanah, bangunan, dan
mobil) maupun benda tidak berwujud (misalnya hak cipta, hak merek, dan hak
paten).
2. Hukum
Perdata
2.1 Sejarah
Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda
berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi
'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling
sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi
yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis
menguasai Belanda
(1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih
dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis
(1813). Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda
yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper
meninggal dunia pada 1824
sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat
sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi
pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru
diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi
pemberontakan di Belgia yaitu :
a. BW
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
b. WvK
(atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
Menurut
J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan
yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
2.2 Pengertian
Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah
ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat.
Dalam tradisi hukum
di daratan Eropa
(civil law) dikenal pembagian hukum
menjadi dua yakni hukum publik
dan atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon
(common law) tidak dikenal pembagian
semacam ini. Hukum Perdata merupakan ketentuan yang mengatur hak-hak dan
kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Berikut beberapa
pengartian dari Hukum Perdata :
a. Hukum
Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum
antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada
kepentingan perseorangan
b. Hukum
Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku
manusia dalam memenuhi kepentingannya.
c. Hukum
Perdata adalah ketentuan dan peraturan yang mengatur dan membatasi kehidupan
manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan
hidupnya.
2.3 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Hukum perdata di
Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon
kemudian bedasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek
voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer. BW/KUHPer sebenarnya
merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang
ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa
dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada pasal 2 aturan
peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh
pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia(azas konkordasi).
Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara
terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya
berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia.
Buku Kesatu-Orang
Buku pertama mengatur
tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga,
termasuk waris.
a. Bab
I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
b. Bab
II - Tentang akta-akta catatan sipil
c. Bab
III - Tentang tempat tinggal atau domisili
d. Bab
IV - Tentang perkawinan
e. Bab
V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri
f. Bab
VI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
g. Bab
VII - Tentang perjanjian kawin
h. Bab
VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan
kedua atau selanjutnya
i.
Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda
j.
Bab X - Tentang pembubaran perkawinan
k. Bab
XI - Tentang pisah meja dan ranjang
l.
Bab XII - Tentang keayahan dan asal
keturunan anak-anak
m. Bab
XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
n. Bab
XIV - Tentang kekuasaan orang tua
o. Bab
XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
p. Bab
XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
q. Bab
XVI - Tentang pendewasaan
r.
Bab XVII - Tentang pengampuan
s. Bab
XVIII - Tentang ketidakhadiran
Buku Kedua-Benda atau Barang
Buku kedua mengatur
mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan. Benda
dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki
(dimiliki) oleh seseorang. Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu hak
yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan
kepada pihak ketiga. Buku kedua tentang benda pada saat ini telah banyak
berkurang, yaitu dengan telah diaturnya secara terpisah hal-hal yang berkaitan
dengan benda (misal dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria, Undang-undang N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan .
Dalam hal telah diatur secara terpisah oleh suatu peraturan perundang-undangan
maka dianggap pengaturan mengenai benda didalam BW dianggap tidak berlaku.
a. Bab
I - Tentang barang dan pembagiannya
b. Bab
II - Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya
c. Bab
III - Tentang hak milik
d. Bab
IV - Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga
e. Bab
V - Tentang kerja rodi
f. Bab
VI - Tentang pengabdian pekarangan
g. Bab
VII - Tentang hak numpang karang
h. Bab
VIII - Tentang hak guna usaha (erfpacht)
i.
Bab IX - Tentang bunga tanah dan
sepersepuluhan
j.
Bab X - Tentang hak pakai hasil
k. Bab
XI - Tentang hak pakai dan hak mendiami
l.
Bab XII - Tentang pewarisan karena
kematian
m. Bab
XIII - Tentang surat wasiat
n. Bab
XIV - Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan
o. Bab
XV - Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan
p. Bab
XVI - Tentang hal menerima dan menolak warisan
q. Bab
XVII - Tentang pemisahan harta peninggalan
r.
Bab XVIII - Tentang harta peninggalan
yang tak terurus
s. Bab
XIX - Tentang piutang dengan hak didahulukan
t.
Bab XX - Tentang gadai
u. Bab
XXI - Tentang hipotek
Buku
Ketiga-Perikatan
Buku
mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan”
disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari
perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik
perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul
dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan
kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan
peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan. Buku
ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht), atau sering juga disebut sifat
terbuka, sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara
bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan
apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan
bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang
tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi
adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan
barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta
si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal :
syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).
a. Bab
I - Tentang perikatan pada umumnya
b. Bab
II - Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
c. Bab
III - Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang
d. Bab
IV - Tentang hapusnya perikatan
e. Bab
V - Tentang jual-beli
f. Bab
VI - Tentang tukar-menukar
g. Bab
VII - Tentang sewa-menyewa
h. Bab
VIIA - Tentang perjanjian kerja
i.
Bab VIII - Tentang perseroan perdata
(persekutuan perdata)
j.
Bab IX - Tentang badan hukum
k. Bab
X - Tentang penghibahan
l.
Bab XI - Tentang penitipan barang
m. Bab
XII - Tentang pinjam-pakai
n. Bab
XIII - Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)
o. Bab
XIV - Tentang bunga tetap atau bunga abadi
p. Bab
XV - Tentang persetujuan untung-untungan
q. Bab
XVI - Tentang pemberian kuasa
r.
Bab XVII - Tentang penanggung
s. Bab
XVIII - Tentang perdamaian
Buku
Keempat-Pembuktian dan Kadaluwarsa
Buku
keempat mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa. Hukum tentang pembuktian
tidak saja diatur dalam hukum acara (Herzine Indonesisch Reglement / HIR) namun
juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini
diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat
bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :
a. Surat-surat
b. Kesaksian
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Daluwarsa
(lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat
mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring)
atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu
penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga
hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak
bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang
menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
a. Bab
I - Tentang pembuktian pada umumnya
b. Bab
II - Tentang pembuktian dengan tulisan
c. Bab
III - Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
d. Bab
IV - Tentang persangkaan
e. Bab
V - Tentang pengakuan
f. Bab
VI - Tentang sumpah di hadapan hakim
g. Bab
VII - Tentang kedaluwarsa pada umumnya
B. Pembahasan
Contoh Kasus Acara Hukum Perdata di
Indonesia
Kasus Perceraian
Seorang istri yang
hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama (PA) dengan
data sebagai berikut :
Nama : Rani Anggraeni
Umur :
32 tahun
Agama :
Islam
Pekerjaan
: Pegawai Swasta
Status
: Menikah
Anak
: 1 anak laki-laki, umur 4 tahun
Permasalahan atau
Kronologis
Rani
Anggraeni menikah di Jakarta dengan suaminya 6 tahun yang lalu (th 2005).
Dikaruniai 1 orang putra berumur 4 tahun. Sudah lama sebenarnya Rani mengalami
kekerasan dalam rumah tangga, Suaminya adalah mantan anak orang kaya yang tidak
jelas kerjanya apa dan sering berprilaku sangat kasar pada Rani, seperti
membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang terparah adalah sering memukul.
Sehingga akhirnya Rani sering tidak tahan sampai berpikir untuk bercerai saja.
Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali tapi
tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedemikian parahnya
dimana si suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena
sudah 2 tahun ini si suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan
anaknya. Sampai akhirnya, Rani merasa terancam jiwanya dimana terjadi kejadian
pada bulan April 2011, Rani dipukul / ditonjok matanya sampai biru yang
berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga. Setelah kejadian
itu Rani memutuskan untuk bercerai saja. Proses Perceraian dilakukan sesuai
Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Tahap-tahap :
Menentukan Pengadilan
Mana yang Berwenang,
Rani
harus menentukan Pengadilan Agama mana yang harus di daftarkan olehnya. Karena
bila salah mendaftarkan gugatan cerai di Pengadilan yang tidak berwenang maka
gugatannya tersebut dapat ditolak oleh hakim. Dalam Undang-undang diatur Bila
yang mengajukan gugatan cerai si istri (beragama Islam) maka Pengadilan Agama
yang berwenangnya adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah
tempat tinggal terakhir si istri. Bila yang mengajukan gugatan cerai si suami
(beragama Islam) maka Pengadilan Agama adalah Pengadilan Agama di wilayah yang
sesuai dengan wilayah tempat tinggal si istri.
Catatan : Jadi
Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan
Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg
sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama
sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah (baik yang mengajukan cerai istri
maupun suami). Bila Rani tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah
tempat tinggal suami. Bila Rani dan suami tinggal di luar negeri, maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat anda berdua menikah dulu,
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 UU No 7/89 tentang
Peradilan Agama).
Di
Jakarta ada 5 Pengadilan Agama (PA), untuk menentukan secara tepat PA mana yang
berwenang memproses perkara cerai antara lain :
a. Pengadilan
Agama Jakarta Pusat ; Jl. K.H. Mas Mansyur, Gg. H. Awaludin II/2, Tanah Abang,
Jak-Pus.
b. Pengadilan
Agama Jakarta Selatan ; Jl. Harsono RM No. 1, Ragunan, Pasar Minggu, Jak-Sel
(Samping Gedung Pertanian arah Kebun Binatang).
c. Pengadilan
Agama Jakarta Timur ; Jl. Raya PKP, No. 24, Kelapa Dua Wetan, Ciracas,Jak-Tim.
d. Pengadilan
Agama Jakarta Utara ; Jl. Plumpang Semper, No. 3, Tanjung Priok, Jak-Ut
e. Pengadilan
Agama Jakarta Barat ; Jl. Flamboyan II, No. 2, Cengkareng, Kalideres, Jak-Bar.
Maka
Rani harus mengetahui persis alamat tempat tinggalnya yang saat ini ia
tinggali, yakni alamat tepatnya di bilangan Tanah Abang ( Jakarta Pusat ). Jadi
pengadilan yang tepat mengadili perkara cerai Rani adalah PA Jakarta Pusat.
Rani mencari alamat PA Jakarta Pusat, yaitu di Jl. K.H. Mas Mansyur, Gg. H.
Awaludin II/2, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Surat-surat yang Harus
disiapkan oleh Rani :
a. Surat
Nikah asli
b.
Foto
kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai, kemudian
dilegalisir
c. Foto
kopi Akte Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai, juga
dilegalisir
d. Foto
kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri)
e. Fotokopi
Kartu Keluarga (KK)
Saran untuk persiapan
proses cerai :
a. Menentukan
dengan benar pengadilan manakah yang berwenang mengadili perkara
cerainya
b. Survey
langsung ke pengadilan tersebut
c. Mencari
informasi di pengadilan berwenang tersebut utk mendapatkan informasi proses
cerai sebanyak-banyaknya (seperti: apa syarat-syarat mengajukan gugatan cerai,
bagaimana menyusun gugatan, berapa biaya daftar gugatan dll).
Perlukah jasa pengacara?
Dari hasil informasinya
itu, Rani menentukan untuk tidak menggunakan jasa seorang pengacara, karena :
a. Rani
punya banyak waktu untuk menghadiri sidang perceraiannya
b. Rani
tidak punya banyak uang untuk menyewa seorang pengacara yang mungkin bisa
mengeruk biaya sekitar Rp 5jt – 10jt lebih.
c. Umumnya
penggunaan jasa pengacara digunakan pada orang yang waktunya sempit (sibuk
bekerja) dan adanya hak dan kewajiban yang mungkin sulit dipertahankan dalam
proses perceraiannya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum
10-04-2013 19:15
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata
12-04-2013 20:06
http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata
12-04-2013 21:09
http://dhewisyu.blogspot.com/2012/02/contoh-kasus-hukum-perdata.html
13-04-2013 15:30
http://agrma.wordpress.com/2012/04/22/subjek-dan-objek-hukum
13-04-2013 19:36
http://kumpulan-makalah-baru.blogspot.com/2012/11/teori-pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html
15-04-2013
19:15