Tulisan Ilmiah Populer
Tulisan Ilmiah Populer adalah karya tulis yang berpegang kepada standar ilmiah, tetapi ditampilkan dengan bahasa umum sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dengan pengertian seperti ini, benar bila dikatakan bahwa ilmiah popular adalah sarana komunikasi antara ilmu dengan masyarakat awam.
Contoh Tulisan Ilmiah Populer
Editorial Media Indonesia: Unjuk Rasa Buruh
UNJUK rasa buruh sudah seperti ritual tahunan saja. Rapat penetapan upah
minimum provinsi (UMP) Dewan Pengupahan dijadikan momentum bagi buruh untuk
menyuarakan tuntutan mereka.Demonstrasi dan mogok buruh seperti biasa sempat
membuat waswas sebagian warga, khususnya di ibu kota negara, Jakarta, selama
dua hari kemarin. Para buruh mendesak
penaikan standar kebutuhan hidup layak menjadi Rp2.767.320 sebagai dasar
penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp3,7 juta per bulan,
seperti keinginan mereka. Saat ini UMP DKI sebesar Rp2,2 juta per bulan.
Selain itu, buruh menuntut penghapusan sistem alih daya dan pemberlakuan
sistem jaminan kesehatan secara menyeluruh. Kita amat memahami kesejahteraan
kaum pekerja belum sepenuhnya tercapai. Kita juga amat memahami bahwa hak
menuntut kesejahteraan sah untuk terus disuarakan. Namun, yang kita sesali
ialah upaya untuk memperjuangkan kesejahteraan itu kembali dicederai aksi yang kurang
simpatik. Buruh, misalnya, berunjuk rasa dengan menutup jalan umum. Sebagian
lagi memaksa pekerja lainnya melalui sweeping untuk ikut aksi.
Tidak mengherankan bila aksi kurang simpatik tersebut kerap mendapat perlawanan
dari masyarakat yang berujung pada bentrok fisik. Unjuk rasa buruh juga membuat
geram sebagian masyarakat karena tak jarang aksi itu melumpuhkan dan
mengorbankan kepentingan publik.
Di sisi lain kalangan pengusaha khawatir masifnya unjuk rasa buruh akan
membuat jeri investor. Menurut mereka, demonstrasi dan segala efeknya bisa
menjadi pesan buruk bagi dunia investasi bahwa iklim berusaha di Indonesia
sangat tidak kondusif. Bila investor hengkang, buruh sendiri yang akan
kehilangan pekerjaan. Pengangguran pun bertambah. Kekhawatiran-kekhawatiran
atas dampak dari maraknya buruh berdemonstrasi itu semestinya menjadi alarm
bagi pemerintah untuk lebih bijaksana dalam menentukan kebijakan. Aksi yang
anarkistis jelas tak boleh dibiarkan. Namun, akar masalah mesti juga digali dan
dicarikan solusi. Terlepas dari besaran yang diinginkan, sebetulnya sangat
wajar buruh terus menuntut upah yang besar karena biaya hidup memang semakin
tinggi. Harga-harga barang, bahkan kebutuhan pokok, sering bergerak naik
tanpa kendali. Pada saat yang sama ongkos transportasi juga
meningkat berbarengan dengan dikuranginya subsidi bahan bakar minyak.
Karena itu, bila mau jujur, pemerintah sesungguhnya juga punya andil sebagai ‘penyebab’ unjuk rasa buruh. Artinya, persoalan upah sejatinya tidak hanya persoalan pekerja melawan perusahaan, tetapi juga menjadi masalah pemerintah. Dibandingkan dengan upah buruh, ekonomi biaya tinggi, birokrasi yang rumit, dan buruknya infrastruktur saat ini lebih menguras kantong anggaran sebagian besar perusahaan di Indonesia. Inilah problem klasik dunia bisnis di Indonesia yang tak kunjung mampu diatasi pemerintah. Problem itu pulalah yang barangkali membuat perusahaan tak berani membayar tinggi upah pekerja karena mesti mencadangkan kas untuk biaya-biaya tinggi tersebut. Karena itu, pemerintah mesti mendudukkan dua kepentingan itu secara tepat. Perusahaan tak boleh mati atau lari karena menanggung biaya-biaya tinggi. Di sisi lain, kita tidak mau negeri ini gagal memberikan kesejahteraan bagi kaum pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar