TULISAN 6
Ignasius Jonan dan Dilema Impor
Kereta Api
Hari
Minggu (3/11/2013), sebanyak 30 dari 180 gerbong kereta api impor dari Jepang
datang. Keputusan untuk mengimpor kereta api bekas dari Jepang bukan merupakan
keputusan yang mudah. Ignasius Jonan selaku Direktur PT. Kereta Api Indonesia
pastinya menyadari benar pro dan kontra yang akan muncul bersamaan dengan
pengambilan keputusan ini. Tapi seorang pemimpin harus berani dan cepat
mengambil keputusan. Tentunya dengan pertimbangan yang matang. Keputusan impor
kereta api tidak hanya dapat dilihat dari sisi impornya saja. Harus dilihat
sebagai bagian dari keseluruhan grand design pengembangan perkereta apian
di Indonesia.
Kebijakan
impor kereta api sangat terkait dengan berbagai kondisi yang lainnya. Semuanya
terhubung erat dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan
angkutan massal untuk kota-kota besar, terutama untuk kawasan Jabodetabek sudah
sangat mendesak. Salah satu jenis angkutan massal yang menjadi gantungan
harapan adalah kereta rel listrik (KRL). Ignasius Jonan beserta PT. KAI nya,
berencana untuk mendatangkan 180 unit kereta api hingga Maret 2014 nanti dan
dioperasikan mulai Mei-Juni 2014. Penerapan dan pelaksanaan kebijakan angkutan
massal sudah sangat tepat. Namun, mengapa kebijakan impor diambil oleh PT. KAI?
Bukankah Indonesia telah memiliki industri yang dapat memproduksi kereta api
yaitu PT. INKA? Bukankah ini kontradiktif dengan kebijakan yang mendukung
pengembangan produk anak negeri?
Mari
kita telaah bersama jawabannya. Jawabannya ternyata penuh dilema. Di satu sisi,
Jonan selaku panglima dari salah satu BUMN di Indonesia seperti halnya dengan
BUMN lainnya, tetap dipacu untuk memperoleh keuntungan. Dari hitungan sederhana
dan secara logika saja, untuk jangka pendek, memang tindakan mengimpor kereta
api bekas dari Jepang jauh lebih menguntungkan dibandingkan memaksakan diri
untuk menunggu kereta api baru hasil produksi PT. INKA. Harga satu unit gerbong
kereta api bekas dari Jepang “hanya” 1 milyar rupiah sedangkan jika membeli
dari PT. INKA dibutuhkan dana 12 milyar untuk 1 gerbongnya. Dua belas kali
lipat. Jika dipaksakan menunggu membeli dari PT. INKA, PT. KAI harus menaikkan
harga tiket kereta api. Dengan membeli kereta bekas yang harganya murah, tarif
penumpang dapat ditekan dan pengembalian investasi lebih cepat. PT. KAI
tidak dapat “mengemis” pemberian subsidi terus menerus.
Namun,
bukan semata masalah harga murah yang menjadi alasannya. PT. INKA belum mampu
memproduksi kereta api baru dalam jumlah yang sedemikian banyak. Saat ini, PT.
INKA hanya mampu untuk memproduksi kereta rel listrik (KRL) dan kereta rel
diesel (KRD) 40 unit per tahun. Sangat jauh di bawah kebutuhan yang ada. Jika
produksi PT. INKA untuk KRL hanya 40 unit per tahun, maka untuk memperoleh 180
gerbong kereta api dibutuhkan waktu 4,5 tahun. Sangat jauh dari kata mencukupi.
Untuk
itulah dibutuhkan grand design pengembangan perkereta apian. PT.
KAI tetap memesan KRL dari PT. INKA untuk memenuhi kebutuhan jangka panjangnya
karena kebutuhan kereta api akan terus bertambah. Yang perlu dilakukan oleh
Pemerintah adalah memberikan genjotan penuh pada PT. INKA agar dapat
meningkatkan kapasitas produksinya. Berikan dukungan penuh pada PT. INKA agar
dapat memproduksi gerbong KRL lebih banyak lagi. Dukungan pemerintah terhadap
angkutan massal jangan tanggung-tanggung. Harus penuh. Tanamkan investasi untuk
mendorong industri angkutan massal. Tempatkan orang-orang yang kredibel di
industri angkutan massal. Daripada membuka keran mobil murah, tentunya akan
lebih baik digunakan untuk angkutan missal. Sesungguhnya armada PT. INKA telah
mumpuni. Memiliki ahli-ahli yang telah banyak belajar dari Jepang. Yang
diperlukan adalah keberpihakan. Keberpihakan pada angkutan massal. Dukungan
pada produksi angkutan massal. Salah satunya PT. INKA. Tidak perlu serta merta
menyalahkan impor kereta api yang telah dilakukan, tapi juga perlu pemahaman
yang lebih luas.
Dahlan
Iskan sebagai bos BUMN telah menegaskan bahwa tahun 2016, PT. KAI tidak akan
lagi melakukan impor kereta bekas dari Jepang. PT. KAI akan menggunakan gerbong
produksi PT. INKA. Tentunya PT. INKA nya juga harus lebih siap. PT. INKA harus
mampu mencukupi kebutuhan gerbong PT.KAI. Jika jajaran direksi PT. INKA merasa
tidak mampu untuk memenuhinya, Dahlan Iskan tidak segan-segan akan
menggantinya.
Hasil Analisa :
Dilihat
dari bentuk paragraf, salah satu paragraf berbentuk paragraf deduktif “Mari kita telaah bersama jawabannya.
Jawabannya ternyata penuh dilema. Di satu sisi, Jonan selaku panglima dari
salah satu BUMN di Indonesia seperti halnya dengan BUMN lainnya, tetap dipacu
untuk memperoleh keuntungan. Dari hitungan sederhana dan secara logika
saja, untuk jangka pendek, memang tindakan mengimpor kereta api bekas dari
Jepang jauh lebih menguntungkan dibandingkan memaksakan diri untuk menunggu
kereta api baru hasil produksi PT. INKA. Harga satu unit gerbong kereta api
bekas dari Jepang “hanya” 1 milyar rupiah sedangkan jika membeli dari PT. INKA
dibutuhkan dana 12 milyar untuk 1 gerbongnya. Dua belas kali lipat. Jika
dipaksakan menunggu membeli dari PT. INKA, PT. KAI harus menaikkan harga tiket
kereta api. Dengan membeli kereta bekas yang harganya murah, tarif penumpang
dapat ditekan dan pengembalian investasi lebih cepat. PT. KAI tidak dapat
“mengemis” pemberian subsidi terus menerus.” Kalimat yang bertanda tebal
merupakan kalimat utama atau inti kalimat yang menjelaskan kesimpulan di dalam
paragraf tersebut. Jika dilihat dari jenis paragraf tulisan ini merupakan
paragraf argumentatif karena pembaca ingin menyampaikan poin-poin khusus di
dalam tulisannya yang akan terjawab dengan mengungkapkan gambaran yang terjadi
di dalam tulisan tersebut lalu kita dapat menarik kesimpulan dengan menggunakan
alasan yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar