TULISAN 10
Pekerja Sebagai Kaum Marginal
SUPLEMEN
Marjin, hasil penyerapan kata margin [Inggris];
artinya batas atau pinggir atau tepi; marjinal
berarti berhubungan dengan batas atau tepi;. Marjinal menunjukkan
karakteristik yang berhubungan dengan batas suatu tepi atau pinggir dari pusat;
misalnya, dalam dimensi budaya ataupun geografis. Marjinal berarti wilayah
pinggiran atau daerah tepian. Marjinalitas mempunyai arti yang menunjuk
pada suatu kondisi atau situasi dari seseorang atau kelompok atau
sesuatu yang berada pada posisi marjinal atau berada pada wilayah pinggiran
dari komunitas atau struktur atau sistem yang di dalamnya seseorang atau
kelompok atau sesuatu itu ada atau hidup. Marjinalitas untuk
menjelaskan bahwa seseorang atau kelompok atau sesuatu memiliki keadaan
marjinal.
Marjinalisasi berarti desakan
atau pembatasan terhadap seseorang atau kelompok atau sesuatu dalam berbagai
aspek yang mengakibatkan obyek desakan atau pembatasan ini tersingkir hingga
berada pada batas atau tepi atau pinggiran. Marjinalisasi menghasilkan
orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu
mereka yang terpasung dalam ketidakpastian psikologis di antara dua (atau lebih)
komunitas masyarakat/ sosial; sehingga mereka penuh dengan ketidakmampuan
mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi) daya jangkaunya.Marjinalisasi tidak ada dengan
sendirinya, tetapi terbentuk dengan dan melalui perencanaan yang terstruktur
serta rapi; dilakukan oleh mereka yang berkuasa (dan mempunyai kekuasaan) yang
berkolaborasi dengan ‘kelompok-kelompok ideologi - sara yang bisa digunakan
sebagai alat penindas-penekan-paksaan.’ Kolaborasi tersebut bisa konkrit dan
terang-terangan, maupun tak terlihat namun ada. Ikatan yang menyatukan
kolaborasi itu adalah kepentingan dan keuntungan bersama. Sehingga
alat atau perangkat yang dipakai untuk melakukan marjinalisasi
adalah politik, perencanaan pembangunan dan ekonomi, institusi pendidikan,
organisasi massa, kelompok-kelompok etnis, dan lain sebagainya, termasuk
agama serta umat beragama.
Jadi, jika disebut bahwa para pekerja (bahasa yang lebih pop
adalah buruh), sebagai kaum marginal; maka dari mana atau bagaimana
mereka terbentuk!? Gampangnya, bisa dikatakan bahwa mereka tercipta karena
korban ketidakadilan para pengusaha. Kemajuan sebagian masyarakat global (ermasuk
Indonesia) yang mencapai era teknologi dan industri ternyata tidak bisa menjadi
gerbong penarik untuk menarik sesamanya agar mencapai kesetaraan. Para
pengusaha teknologi dan industri tetap membutuhkan kaum miskin yang
pendidikannya terbatas untuk dipekerjakan sebagai buruh. Dan dengan itu, karena
alasan kurang pendidikan, mereka dibayar di bawah standar atau sangat rendah,
serta umumnya, tanpa tunjangan kesehatan, transportasi, uang makan, dan lain
sebagianya.
Para buruh tersebut harus menerima keadaan itu karena
membutuhkan nasi dan pakaian untuk bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka
tidak mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Secara langsung, mereka telah
menjadi korban ketidakadilan para pengusaha (konglomerat) hitam yang sekaligus
sebagai penindas sesama manusia dan pencipta langgengnya kemiskinan. Para buruh
(laki-laki dan perempuan) harus menderita karena bekerja selama 12 jam per hari
(bahkan lebih), walau upahnya tak memadai. Kondisi buruk yang dialami oleh para
buruh tersebut juga membuat dirinya semakin terpuruk di tengah lingkungan
sosial kemajuan di sekitarnya (terutama para buruh migran pada wilayah
metropolitan). Sistem kerja yang hanya mengutamakan keuntungan majikan,
telah memaksa para buruh untuk bekerja demikian keras.
Sehingga kehidupan yang standar, wajar dan normal,
yang seharusnya dialami oleh para buruh, tidak lagi dinikmati oleh mereka.
Fisik dan mental para buruh (yang giat bekerja tetapi tetap miskin), telah
dipaksa menjadi bagian dari instrumen mekanis. Mereka dipaksa untuk
menyesuaikan diri dengan irama, kecepatan dan ritme mesin-mesin pabrik dan
ritme bising mesin otomotif; mesin-mesin itu, memberikan perubahan dan
keuntungan pada pemiliknya, namun sang buruh tetap berada pada kondisi
kemiskinan. Dengan tuntutan itu, mereka tak memiliki kebebasan, kecuali hanya
untuk melakukan aktivitas pokok makhluk hidup (makan, minum, tidur) di sekitar
mesin-mesin yang menjadi tanggungjawabnya.
Dengan demikian, jika ada tuntutan buruh untuk kenaikan
upah, maka wajar-wajar saja; tetapi, ada tetapinya. Tuntutan itu, menjadi tak
wajar jika, menuntut tampa memandang-menilai sikon ekonomi yang
sementara terajadi, di samping begitu banyak faktor lainnya yang berhubungan
dengan kerja, produksi, penjualan, pajak, dan lain sebagainya. Saya setuju, bahwa pekerja/ buruh harus keluar
dari sikon marginal yang menghimpitnya; mereka harus terangkat secara ekonomi,
sosial, lain sebagainya; mereka harus mengalami perbaikan dan perubahan
kualitas hidup serta kehidupannya. Tapi, hal tersebut harus dilakukan dengan
cara-cara yang bermartabat, terhormat, serta penuh kecerdasan; dan bukan
melalui cara-acara anarkhis, paksaan, kekerasan, serta ditunggangi dengan
kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Hasil analisa :
Di dalam tulisan ini
membahas mengenai pekerja sebagai kaum marginal di dalam ruang lingkup
pekerjaan. Marjinal menunjukkan karakteristik yang
berhubungan dengan batas suatu tepi atau pinggir dari pusat; misalnya, dalam
dimensi budaya ataupun geografis. Marjinal berarti wilayah pinggiran atau daerah
tepian. Marjinalitas mempunyai arti yang menunjuk pada suatu
kondisi atau situasi dari seseorang atau kelompok atau sesuatu yang berada pada
posisi marjinal atau berada pada wilayah pinggiran dari komunitas atau struktur
atau sistem yang di dalamnya seseorang atau kelompok atau sesuatu itu ada atau
hidup. Marjinalitas untuk menjelaskan bahwa seseorang atau kelompok
atau sesuatu memiliki keadaan marjinal. Marjinalisasi berarti
desakan atau pembatasan terhadap seseorang atau kelompok atau sesuatu dalam
berbagai aspek yang mengakibatkan obyek desakan atau pembatasan ini tersingkir
hingga berada pada batas atau tepi atau pinggiran. Marjinalisasi
menghasilkan orang-orang atau individu (atau pun kelompok baru yang) marjinal; yaitu mereka yang
terpasung dalam ketidakpastian psikologis di
antara dua (atau lebih) komunitas masyarakat/ sosial; sehingga mereka penuh
dengan ketidakmampuan mengekspresikan diri serta terbatas (karena dibatasi)
daya jangkaunya. Dilihat dari jenis paragraf, tulisan ini berjenis paragraf
deskriptif karena penulis member gambaran tentang kondisi kaum pekerja yang
hidup dalam fenomena marjinalitas sehingga berdampak pada pola kehidupan yang
dialami oleh para buruh sehingga dikatakan bahwa “pekerja sebagai kaum
marginal”. Jika dilihat di paragraf awal, bentuk paragraf tersebut adalah paragraf
campuran karena kalimat utama terletak pada awal paragraf dan akhir paragraf
yang menunjukan kesimpulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar