Demam “Nongkrong” ala Sevel
melahirkan industry sejenis
Demam
“Nongkrong” ala Sevel melahirkan industry sejenis
Demam
nongkrong ala Sevel sedang menjangkiti store-store sejenis. Budaya nongkrong
yang dibawa oleh Sevel rupanya melahirkan “gaya hidup” nongkrong bagi industry
retail sejenis. Dengan konsep yang kurang lebih sama, indomart dan lawson
sedikit mengubah tampilannya menjadi convenient store. Pada akhirnya nongkrong
ala Sevel yang sedang menjamur di Jabodetabek, membuka peluang bagi lahirnya
industry sejenis. Mari kita amati saja, retail Indomart dan Lawson yang ada
sekarang ini. Sevel sampai tahap ini berhasil menggulirkan budaya tersebut. Tak
terkecuali di Jogja, Indomaret membuka gerai dengan konsep mirip Sevel.
Pada
dasarnya, keberhasilan sebuah industry adalah mampu menggulirkan budaya yang
mengubah perilaku social pelanggannya. Pelanggan yang notabene seorang manusia
yang berbudaya dengan mudah menangkap hal ini sebagai bagian dari kehidupan itu
sendiri. Manusia, sejenak membutuhkan suasana baru, pandangan baru, rasa baru
serta cita rasa baru. Salah satunya ya meluangkan waktu dengan duduk santai
sembari beraktifitas lain. Gambaran psikologis manusia inilah yang ditangkap
sebagai cara dalam memenuhi kebutuhan dari sisi lain. Pertanyaan reflektifnya
adalah dengan nongkrong apakah ada hal positif yang diperoleh? Ibarat manusia
membutuhkan “pitstop”, “nongkrong” menjadi cara untuk berhenti sejenak, maka
kegiatan ini bisa dilakukan. Kadang, dengan nongkrong dan ngobrol, justru
melahirkan ide, kreatifitas baru yang berguna bagi pekerjaan kita. Nongkrong
kadang juga menjadi salah satu cara menyelesaikan tugas dan pekerjaan kita.
Namun kita hendaknya tetap harus waspada, nongkrong jangan menjadi alasan untuk
bermalas-malasan, tanpa ada sesuatu yang bisa di bawa pulang.
Apapun
itu, secara khusus di Jakarta, convenience store berhasil membangun
paradigama baru. Bahwa nongkrong sadar atau tidak sudah menjadi bagian dari
“lifestyle”. Kita bisa melihat dan dilihat. Kita bisa berjam-jam mengamati
perilaku orang lain. Kita bisa duduk tanpa berbuat sesuatu juga memungkinkan
dilakukan. Nah bagaimana dengan industry retail sejenis? Dalam hal ini Indomart
dan Lawson. Mengamati ini, Indomart dan Lawson adalah follower. Mengingat
konsep sejenis sudah ada terlebih dulu. Menariknya adalah, pelanggan tidak
terlalu mempermasalahkan mau dimana nongkrongnya. Terbukti baik di Indomart
maupun Lawson tetap ramai orang nongkrong. Pelanggan tidak merasa di Sevel
lebih baik daripada di Indomart atau Lawson. Pelanggan juga tidak merasa lebih
ber”gaya hidup” atau prestise nongkrong di Sevel dari pada di Indomart
atau Lawson. Yang terpenting buat pelanggan adalah bagaimana kebutuhan sisi
lain ini terpenuhi dengan “nongkrong”.
Saat
ini gerai Indomart dengan konsep convenience store masih terbatas. Hanya
tempat tertentu yang ramai aktifitas seperti stasiun kereta. Nah di Jogja,
dengan banyaknya tempat nongkrong ala desa/kampung serta kulinernya, Indomart
hadir dengan konsep ala Sevel. Rupanya Indomart akan mengambil bagian merebut
hati masyarakat Jogja dengan membangun budaya “nongkrong”yang sebenarnya sudah
ada sebelumnya. Walaupun dengan konsep yang berbeda. Umumnya kata “nongkrong”
di Jogja sudah jamak. Tidak lagi asing. Nongkrong sudah menjadi bagian dari
ritme hidup, terutama para mahasiswanya. Lihat saja begitu banyak tempat
nongkrong di Jogja, dari konsep “angkringan’ sampai model “western” juga ada.
Dari outdor sampai indoor juga banyak di temukan. Dari yang hanya sekedar duduk
di pinggir trotoar sampai ber AC (angin cendela) maupun AC beneran juga ada.
Kembali
pada konsep “nongkrong”, pada prinsipnya setiap orang butuh sosialisasi.
Seseorang membutuhkan waktu untuk berinteraksi membangun komunitas. Selain
berusaha ingin mendapatkan sebuah pengakuan diri dari lingkungan tentunya.
Lepas dari itu semua, nongkrong memang aktifitas yang menyenangkan. Bertatap
muka sembari bersosialisasi membuat kita semakin open minded. Hmmm… siapa takut
untuk nongkrong…
Hasil analisa :
Tulisan
diatas membahas mengenai gaya hidup anak muda jaman sekarang dengan hadirnya
convenient store yang ada sekarang. Budaya nongkrong yang dibawa oleh Sevel
rupanya melahirkan “gaya hidup” nongkrong bagi industry retail sejenis. Dengan
konsep yang kurang lebih sama, indomart dan lawson sedikit mengubah tampilannya
menjadi convenient store. Pada akhirnya nongkrong ala Sevel yang sedang menjamur
di Jabodetabek, membuka peluang bagi lahirnya industry sejenis. Apapun itu,
secara khusus di Jakarta, convenience store berhasil membangun paradigama
baru. Bahwa nongkrong sadar atau tidak sudah menjadi bagian dari “lifestyle”.
Kita bisa melihat dan dilihat. Kita bisa berjam-jam mengamati perilaku orang
lain. Kita bisa duduk tanpa berbuat sesuatu juga memungkinkan dilakukan. Nah
bagaimana dengan industry retail sejenis? Dalam hal ini Indomart dan Lawson.
Mengamati ini, Indomart dan Lawson adalah follower. Mengingat konsep sejenis
sudah ada terlebih dulu.
Dilihat dari bentuk paragrafnya tulisan ini bersifat
naratif karena penulis berusaha menceritakan fenomena Demam “Nongkrong” ala Sevel melahirkan industry sejenis dengan berbagai
ruang lingkup kehidupan anak muda yang
ikut berkembang dengan adanya convenient store seperti sevel dan Lawson. Jika dilihat
dari kalimatnya, paragraf ini bersifat deduktif karena kalimat utama yang
menjadi inti berada di awal paragraf. Struktur
kata yang disajikan sangat dinamis dan mudah dipahami oleh para pembaca
sehingga kita menjadi lebih mengerti dan jelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar