TULISAN 17
Pola Konsumsi Orang Indonesia
Suatu
ketika, seorang kawan yang bekerja di Kementerian Pertanian melontarkan
pertanyaan mengenai harga kerupak kaleng dan sebiji telur ayam kepada saya.
Dari pertanyaannya, saya baru sadar: harga dua bongkah kerupuk kaleng ternyata lebih mahal dari sebiji
telur ayam. Sekedar merinci buat Anda yang tak percaya, harga sebongkah kerupuk
kaleng saat ini Rp1.000, sementara harga sebiji telur ayam sebesar Rp1.500.
Jadi, harga dua bongkah kerupuk kaleng lebih mahal Rp500 dibanding harga sebiji
telur ayam. Padahal, dari segi kandungan gizi,
jangankan dua bongkah, sekarung kerupuk pun kandungan gizinya jauh lebih rendah bahkan, boleh dibilang nihil bila dibandingkan dengan sebiji
telur ayam. Begitulah faktanya, kerupuk mendapat tempat yang lebih istimewa
dalam pola konsumsi orang Indonesia ketimbang telur ayam. Bagi banyak orang
Indonesia, bukan makan namanya bila tanpa kerupuk.
Di
lain waktu, seorang kawan pernah bertutur, boss-nya yang baru
pulang dari Singapura mengaku begitu kangen dengan kerupuk kaleng, bukan saja
pada rasanya, tapi juga bunyi kriuk-kriuk-nya yang bisa membuat nafsu
makan begitu menggelora. Ia bilang, selama beberapa hari di Singapura, boss-nya
tak bisa menemukan kerupuk kaleng. Nampaknya, kerupuk kaleng mungkin juga kerupuk secara umum hanya ada di Indonesia. Negeri ini
memang surganya kerupuk. Ada banyak varian kerupuk. Apapun bisa dijadikan
kerupuk, mulai dari kulit binatang, ceker ayam, hingga daun bayam. Selain surganya kerupuk, Indonesia
juga merupakan surganya sambal. Di negeri ini juga ada begitu banyak varian
sambal. Nyaris setiap daerah memiliki kekhasan jenis sambal dengan cita rasanya
masing-masing. Seperti halnya kerupuk, bagi sebagian besar orang Indonesia, tak
nikmat rasanya bila makan tanpa ditemani sambal atau tanpa cita rasa
pedas pada makanan.
Cabai
dan inflasi
Hal
ini mengakibatkan pergerakan angka inflasi yakni variabel ekonomi makro yang sangat penting, yang
menunjukkan perkembangan atau seberapa cepat harga-harga berubah dalam
perekonomian amat dipengaruhi oleh pergerakan
harga cabai yang merupakan bahan baku utama sambal dan sumber cita rasa pedas
pada masakan. Bila harga cabai “kian pedas” karena suplai cabai di pasar
terganggu, dapat dipastikan inflasi bakal meningkat yang ujung-ujungnya
bakal mempengaruhi perekonomian. Ini
disebabkan besarnya bobot atau kontribusi cabai dalam perhitungan inflasi
karena dikonsumsi secara masif dan dalam jumlah besar oleh seluruh penduduk
Indonesia. Saking signifikannya peran cabai
dalam pergerakan angka inflasi, seorang pejabat Bank Indonesia, lembaga yang
memiliki otoritas untuk mengendalikan inflasi, pernah meminta agar cabai
dikeluarkan saja dari komoditas yang diikutkan dalam perhitungan inflasi. Tentu
permintaan yang keliru. Seharusnya, bila hendak meredam pengaruh cabai terhadap
pergerakan inflasi, yang mesti dilakukan adalah menjaga kestabilan harga cabai
di pasar.
Suplai
komoditas ini harus selalu mencukupi setiap saat. Karena hampir semua orang
Indonesia butuh cabai saat hendak makan. Tentu ini tak mudah. Karena, cabai
adalah tanaman semusim yang tak bisa dibudidayakan secara maksimal sepanjang
tahun. Mau tak mau, di tengah kebutuhan akan cabai yang terus meningkat,
konsumsi cabai segar harus ditekan. Orang Indonesia harus terbiasa mengkonsumsi
cabai olahan (bubuk atau yang telah dikeringkan). Ini juga sulit karena
menyangkut selera dan cita rasa.
Nasi
dan mie instan
Yang
juga unik dari pola konsumsi kita, orang Indonesia, adalah peran beras/ nasi sebagai sumber utama
karbohidrat. Sekitar 80 persen pemenuhan karbohidrat orang Indonesia berasal
dari nasi yang ditanak dari beras. Partisipasi orang Indonesia dalam
mengkonsumsi beras juga nyaris seratus persen. Itu artinya, hampir semua orang
Indonesia dari Sabang sampai Merauke menjadikan beras sebagai makanan
pokok utama. Fakta ini menjadikan konsumsi beras
penduduk Indonesia sangat tinggi. Bayangkan, dalam setahun setiap orang
Indonesia secara rata-rata mengkonsumsi sekitar 139 kilogram beras. Makanya,
produksi dan ketersediaan beras yang mencukupi menjadi isu penting di
negeri ini, baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Pasalnya, persoalan ini
menyangkut urusan perut sekitar 250 juta penduduk.
Konsumsi
beras yang tinggi juga merupakan penyebab utama tingginya prevelensi penyakit
diabetes di Indonesia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan,
Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara dengan prevelensi diabetes
tertinggi di dunia. Celakanya, di tengah pesatnya laju pertambahan
penduduk, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan beras yang terus meningkat,
sementara pada saat yang sama kapasitas produksi padi/ beras tumbuh lebih lambat. Dalam soal ini, yang juga
mengkhawatirkan adalah kian maraknya konversi lahan sawah ke penggunaan
non-pertanian yang otomatis bakal menggerus kapasitas produksi. Mau
tak mau, bila produksi dalam negeri tak mencukupi, pilahannya harus mengimpor
dari luar negeri.
Jalan
keluarnya, konsumsi beras harus ditekan. Dan diversifikasi pangan (sumber
karbohidrat) harus digalakkan. Ini tak mudah. Merubah pola konsumsi nasi orang
Indonesia tak semudah membalikkan telapak tangan. Buktinya, kampanye agar
mengurangi konsumsi beras dan beralih ke pangan lokal pengahasil kerbohidrat
lainnya (misalnya, one day no rice) telah dilakukan sebegitu rupa, namun
hasilnya belum maksimal. Bagi orang Indonesia, bukan makan namanya bila tanpa nasi. Selian soal selera,
juga soal gengsi dan prestise: ada persepsi keliru bahwa mengkonsumsi jagung
atau umbi-umbian sebagai pengganti beras identik dengan kemiskinan (tidak mampu
membeli beras). Celakanya, meski konsumsi beras
cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, penurunan ini justru dibarengi
dengan meningkatnya konsumsi produk olahan gandum, bukan komoditas pangan lokal.
Padahal gandumnya harus diimpor dari luar negeri. Salah satu produk olahan
gandum yang kian penting peranannya dalam pola konsumsi orang Indonesia sebagai
sumber karbohidrat (pengganti nasi) adalah mie instan. Bayangkan, menurut data Bank Dunia, Indonesia merupakan
negara pengkonsumsi mie instan terbesar kedua di dunia, dengan konsumsi
mencapai 13,7 miliar bungkus pada tahun 2008. Konsekuensinya, konsumsi tepung
terigu meningkat dan Indonesia menjadi satu dari lima negara pengimpor gandum
terbesar di dunia pada tahun 2008. Pengaruh iklan mie instan yang ditayangkan
saban hari di televisi nampaknya sangat efektif dalam
memengaruhi pola konsumsi sebagian besar orang Indonesia.
Hasil analisa :
Kesimpulan dari tulisan diatas adalah pola konsumsi orang
indonesia yang bervariasi berdasarkan pada pola konsumerisme yang sudah
mendarah daging. Seharusnya perilaku seperti ini harus mulai dicegah dan
diminimalisir untuk memperbaiki permasalahan konsumerisme yang semakin
merejalela. Jika kita analisa salah satu paragraf yaitu “Suplai
komoditas ini harus selalu mencukupi setiap saat. Karena hampir semua
orang Indonesia butuh cabai saat hendak makan. Tentu ini tak mudah. Karena, cabai adalah tanaman semusim
yang tak bisa dibudidayakan secara maksimal sepanjang tahun. Mau tak mau, di
tengah kebutuhan akan cabai yang terus meningkat, konsumsi cabai segar harus
ditekan. Orang Indonesia harus terbiasa mengkonsumsi cabai olahan (bubuk atau
yang telah dikeringkan). Ini juga sulit karena menyangkut selera dan
cita rasa.” Maka paragraf
diatas berbentuk parraf deduktif karena initi kalimat atau kalimat utama
terletak di awal paragraf. Jika kita analisa berdasarkan jenis paragraf maka
tulisan ini berjenis naratif karena penulis mencoba mengutarakan fenomena yang
timbul dari permasalahan yang sedang berekembang mengeanai masalah pola
konsumsi orang Indonesia yang kompleks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar